Pertama Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia. Kedoea Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia. Ketiga Kami poetera dan poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.
Demikianlah isi Sumpah Pemuda yang merupakan sumpah setia hasil rumusan Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia atau dikenal dengan Kongres Pemuda II, yang dibacakan pada 28 Oktober 1928. Selanjutnya, tanggal ini kemudian diperingati sebagai “Hari Sumpah Pemuda”. Rumusan Sumpah Pemuda ditulis Moehammad Yamin pada sebuah kertas ketika Mr. Sunario, tengah berpidato pada sesi terakhir kongres. Sumpah tersebut awalnya dibacakan oleh Soegondo dan kemudian dijelaskan panjang-lebar oleh Yamin[2]. Demikianlah selintas kisah sejarah Sumpah Pemuda. Seberapa pentingkah Pemuda sehingga sampai-sampai sumpahnya pemuda menjadi salah satu kisah yang mengisi sejarah Republik Indonesia? Jauh sebelum Sumpah Pemuda itu ada, Rasul SAW telah bersabda dalam hadits Abdullah bin Mas’ud -radhiallahu ‘anhu-, “Tidak akan beranjak kaki anak Adam pada Hari Kiamat dari sisi Rabbnya sampai dia ditanya tentang 5 (perkara) : Tentang umurnya dimana dia habiskan, tentang masa mudanya dimana dia usangkan, tentang hartanya dari mana dia mendapatkannya dan kemana dia keluarkan dan tentang apa yang telah dia amalkan dari ilmunya”. (HR. At-Tirmizi). Selanjutnya dalam kesempatan lain, Rasul SAW memberikan kabar gembira dalam hadits yang shahih, “Ada tujuh golongan yang akan dinaungi oleh Allah pada hari yang tiada naungan kecuali naungan-Nya,” lalu beliau menyebutkan di antaranya, “Seorang pemuda yang tumbuh dalam penyembahan kepada Rabbnya.” Jika sumpah pemuda menggagas sumpah nasionalisme yang hanya terbatas pada konsep daerah dan wilayah tertentu, maka Islam yang diajarkan melalui Rasul SAW mengajarkan sumpah penghambaan hanya kepada Allah SWT saja.Sumpah Syahadah (sebutlah demikian_pen), ternyata telah ampuh dan sangat jauh lebih ampuh melahirkan para pemuda-pemuda harapan dunia, tak hanya bangsa.Sebutlah saja misalnya dari proses tarbiyah (pendidikan) Rasul SAW, telah lahir sejumlah pemuda hebat seperti yang paling muda adalah 8 tahun, siapa lagi kalau bukan Ali bin Abi Thalib dan Az-Zubair bin Al-Awwam, Thalhah bin Ubaidillah, 11 tahun, Al Arqaam bin Abil Arqaam 12 tahun, Abdullah bin Mazh’un berusia 17 tahun, Ja’far bin Abi Thalib 18 tahun, Qudaamah bin Abi Mazh’un berusia 19 tahun, Said bin Zaid dan Shuhaib Ar Rumi berusia dibawah 20 tahun, ‘Aamir bin Fahirah 23 tahun, Mush’ab bin ‘Umair dan Al Miqdad bin al Aswad berusia 24 tahun, Abdullah bin al Jahsy 25 tahun, Umar bin al Khathab 26 tahun, Abu Ubaidah Ibnuk Jarrah dan ‘Utbah bin Rabi’ah, ‘Amir bin Rabiah, Nu’aim bin Abdillah, ‘ Usman bin Mazh’un, Abu Salamah, Abdurrahman bin Auf dimana kesemuanya sekitar 30 tahun, Ammar bin Yasir diantara 30-40 tahun, dan Abu Bakar Ash Shiddiq 37 tahun. Mereka secara keseluruhannya adalah kalangan pemuda, bahkan ada diantara mereka adalah remaja yang belum atau baru dewasa. Usamah bin Zaid diangkat oleh Nabi SAW sebagai komandan untuk memimpin pasukan kaum muslimin menyerbu wilayah Syam (saat itu merupakan wilayah Romawi) dalam usia 18 tahun. Padahal diantara prajuritnya terdapat orang yang lebih tua seperti Usamah, Abu Bakar, Umar bin Khathab, dan lain-lainnya. Abdullah bin Umar telah pula memiliki semangat juang yang bergelora untuk berperang sejak berumur 13 tahun. Ketika Rasulullah SAW sedang mempersiapkan barisan pasukan pada perang Badar, Ibnu Umar bersama al Barra’ datang kepada Rasul SAW seraya meminta agar diterima sebagai prajurit. Saat itu, Rasulullah SAW menolak kedua pemuda kecil itu. Tahun berikutnya, pada perang Uhud, keduanya datang lagi, tapi yang diterima hanya Al barra’. Dan pada perang Al Ahzab barulah Nabi menerima Ibnu Umar sebagai anggota pasukan kaum muslimin (lihat Shahih Bukhari VII/266 dan 302). Kisah mengharukan lain muncul dalam peristiwa yang sangat menarik untuk renungan para pemuda di zaman ini. Peristiwa ini selengkapnya diceritakan oleh Abdurrahman bin Auf: “Selagi aku berdiri di dalam barisan perang Badar, aku melihat ke kanan dan ke kiri ku. Saat itu tampaklah olehku dua orang Anshar yang masih muda belia. Aku berharap semoga aku lebih kuat daripada mereka. Tiba-tiba salah seorang daripada mereka menekanku sambil berkata: ‘Wahai paman, apakah engkau mengenal Abu Jahal ?” Aku menjawab: ”Ya, apakah keperluanmu padanya, wahai anak saudaraku?” Dia menjawab: ”Ada seorang memberitahuku bahawa Abu Jahal ini sering mencela Rasulullah saw. Demi (Allah) yang jiwaku ada ditangan-Nya, jika aku menjumpainya tentulah tak kan kulepaskan dia sampai siapa yang terlebih dulu mati antara aku dengan dia!” Berkata Abdurrahman bin Auf: ‘Aku merasa heran ketika mendengarkan ucapan anak muda itu’. Kemudian anak muda yang satu lagi menekanku pula dan berkata seperti temannya tadi. Tidak lama berselang daripada itu aku pun melihat Abu Jahal mondar dan mandir di dalam barisannya, maka segera aku kabarkan (kepada dua anak muda itu): ”Itulah orang yang sedang kalian cari.” Keduanya langsung menyerang Abu Jahal, menikamnya dengan pedang sampai tewas. Setelah itu mereka menghampiri Rasulullah SAW (dengan rasa bangga) melaporkan kejadian itu. Rasulullah berkata: ‘Siapa di antara kalian yang menewaskannya?’ Masing-masing menjawab: ‘sayalah yang membunuhnya’. Lalu Rasulullah bertanya lagi: ‘Apakah kalian sudah membersihkan mata pedang kalian?’ ‘Belum’ jawab mereka serentak. Rasulullah pun kemudian melihat pedang mereka, seraya bersabda: ‘Kamu berdua telah membunuhnya. Akan tetapi segala pakaian dan senjata yang dipakai Abu Jahal (boleh) dimiliki Mu’adz bin al Jamuh.” (Berkata perawi hadits ini): Kedua pemuda itu adalah Mu’adz bin “Afra” dan Mu’adz bin Amru bin Al Jamuh” (lihat Musnad Imam Ahmad I/193; Sahih Bukhari Hadits nomor 3141 dan Sahih Muslim hadits nombor 1752). Sangat luarbiasa membaca kisah para pemuda Islam masa-masa dahulu di dalam menggenggam tauhid dan menjiwai penghambaannya kepada Allah SWT. Tak hanya berkorban harta, jiwa dan nyawanya pun ia pertaruhkan untuk dzat yang paling mulia, Allah SWT. Para pemuda itu benar-benar mewujudkan ”sumpah syahadah” mereka untuk benar-benar mempersembahkan hidup, mati, dan segala pengorbanan mereka demi Allah SWT. Dan ternyata para pemuda-pemuda seperti itu tak sedikit dimiliki oleh Islam pada setiap zamannya. Agak sedikit menjauh dari zaman para sahabat Nabi SAW, lahirlah generasi keemasan Islam pertama setelah Rasul SAW. Pemuda itu bernama Umar bin Abdul Aziz yang diangkat menjadi khalifah pada usia 37 tahun. Beliau dilantik menjadi Khalifah selepas kematian Sulaiman bin Abdul Malik tetapi beliau tidak suka kepada pelantikan tersebut. Lalu beliau memerintahkan supaya memanggil umat Islam untuk mendirikan sholat. Selepas itu orang-orang pergi ke masjid. Lantas beliau mengucapkan puji-pujian kepada Allah dan berselawat kepada Nabi SAW kemudian beliau berkata: “Wahai sekalian umat manusia! Aku telah diuji untuk memegang tugas ini tanpa meminta pandanganku terlebih dahulu dan bukan pula permintaanku serta tidak didiskusikan bersama dengan umat Islam. Sekarang aku membatalkan baiat yang kamu berikan kepadaku dan pilihlah seorang Khalifah yang kamu ridhoi”. Tiba-tiba orang-orang serentak berkata: “Kami telah memilih kamu wahai Amirul Mukminin dan kami juga ridho kepada kamu. Oleh yang demikian perintahlah kami dengan kebaikan dan keberkatan”. Lalu beliau berpesan kepada umat: “Wahai sekalian umat manusia! Sesiapa yang taat kepada Allah, dia wajib ditaati dan sesiapa yang tidak taat kepada Allah, dia tidak wajib ditaati oleh sesiapapun. Wahai sekalian umat manusia! Taatlah kamu kepada aku selagi aku taat kepada Allah di dalam memimpin kamu dan sekiranya aku tidak taat kepada Allah, janganlah sesiapa mentaati aku”. Setelah itu beliau turun dari mimbar. Adakah pemimpin sekarang yang melakukan sumpah syahadah seperti itu? Saya sangat berharap akan ada dan harus ada. Dalam kisah lainnya tentang Umar bin Abdul Aziz sesaat setelah diangkat menjadi Khalifah dan Amirul Mukminin, Umar langsung mengajukan pilihan kepada Fatimah, isteri tercinta. Umar: “Isteriku sayang, aku harap engkau memilih satu di antar dua.” Fatimah bertanya kepada suaminya, “Memilih apa, kakanda?” Umar bin Abdul Azz menerangkan, “Memilih antara perhiasan emas berlian yang kau pakai atau Umar bin Abdul Aziz yang mendampingimu.” Kata Fatimah, “Demi Allah, aku tidak memilih pendamping lebih mulia daripadamu, ya Amirul Mukminin. Inilah emas permata dan seluruh perhiasanku.” Kemudian Khalifah Umar bin Abdul Aziz menerima semua perhiasan itu dan menyerahkannya ke Baitulmal, kas Negara kaum muslimin. Sementara Umar bin Abdul Aziz dan keluarganya makan makanan rakyat biasa, yaitu roti dan garam sedikit. Itulah sepenggal kisah seorang pemuda Islam yang bersumpah setia dengan syahadahnya. Islam bangga dengan kehadiran mereka. Selain Umar, sejarah juga masih mencatat beberapa pemuda pengharum dunia dan penerang bumi. Mereka diantaranya adalah Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin Syirfu al Nawawi atau yang lebih dikenal dengan Imam Nawawi. Ia menghafal Al-Quran sejak kecil lagi. Ketika berusia 19 tahun, ia pergi ke kota Damsyik (Damaskus) untuk belajar. Dalam suatu riwayat Imam Nawawi pernah diusir oleh Sultan al-Malik al-Zahir karena beliau berfatwa tidak membenarkan Sang Raja yang mengharuskan mengambil harta rakyat -meskipun untuk keperluan memerangi orang-orang Tartar- selama kekayaannya sendiri masih dapat dipergunakan. Imam Nawawi mengatakan demikian karena sang Sultan diketahui memiliki seribu orang pembantu yang tiap-tiap orangnya memikul banyak emas dan memiliki 200 pembantu wanita yang masing-masing mengenakan perhiasan yang bernilai. Begitulah letak syahadah pemuda Islam yang menjiwai Imam Nawawi. Baginya, kekuasaan tidak bernilai di depan kebenaran. Tokoh pemuda lain bernama Ibnu Hajar Al ‘Asqalani (773 – 852 H), yang ketika remaja telah menghafal kitab al Hawi karangan Al Mawardi dan kitab Mukhtasar karangan Ibnul Hajib. Tidak lama setelah itu berangkat ke Mekkah dan belajar dan kemudian menjadi Qadhi Mesir lebih kurang selama 2l tahun dalam usia yang masih muda. Lagi-lagi contoh pemuda Islam yang setia dengan sumpah syahadahnya. Imam Suyuthi, menghabiskan waktu mudanya untuk berpindah-pindah dari satu negeri ke negeri lain mencari ilmu, dari Bagdad sampai ke Syria (Syam), sampai ke Hijaz, Yaman, India, Marokko, Tekruri dan lain-lain daerah Islam ketika itu. Hasilnya, Kitab Tafsir Jalalayn keluar dari penanya. Nama abadi dari generasi yang menorehkan tinta emas dalam sejarah Islam juga mencatat nama Muhammad Fatih atau Sultan Mehmed II. Ia merupakan pemuda yang memiliki kecerdasan multi bidang. Ia menguasai bidang militer, sains, matematika & menguasai 6 bahasa saat berumur 21 tahun. Jika sekarang, ia oleh dibilang sebagai seorang Profesor Doktor dengan predikat Summacumlaude dari beberapa bidang. Tepat pukul 1 pagi hari Selasa 20 Jumadil Awal 857 H atau bertepatan dengan tanggal 29 Mei 1453 M, tentara Utsmaniyyah dibawah kepemimpinannya berhasil menembus kota Konstantinopel melalui Pintu Edirne. Ketika itu, ia baru berumur sekitar 21 tahun. Penulis melihat tidak ada seorang komandan yang seusianya sudah mampu meruntuhkan kekuatan negara Super Power saat itu. Tak kurang cerita pemuda Muhammad Al Fatih ini. Diceritakan bahwa tentara Sultan Muhammad Al Fatih tidak pernah meninggalkan solat wajib sejak baligh & separuh dari mereka tidak pernah meninggalkan solat tahajjud sejak baligh. Hanya Sulthan Muhammad Al Fatih saja yang tidak pernah meninggalkan solat wajib, tahajud & rawatib sejak baligh hingga saat kematiannya. Para ulama mengisyaratkan bahwa beliau adalah pemuda yang dimaksudkan Rasul SAW ketika menubuwahkan kejayaan Islam. “Konstantinopel akan ditaklukkan oleh tentara Islam. Rajanya adalah sebaik-baik raja & tentaranya adalah sebaik-baik tentara” (Nabi Muhammad). “Aku mendengar baginda Rasulullah SAW mengatakan seorang lelaki soleh akan dikuburkan di bawah tembok tersebut dan aku juga ingin mendengar derapan tapak kaki kuda yang membawa sebaik-baik raja yang mana dia akan memimpin sebaik-baik tentara seperti yang telah diisyaratkan oleh baginda Rasul” (Abu Ayyub al-Anshari kepada panglima Bani Umayyah). Tokoh-tokoh abad ini juga mencatat nama Qardhawi yang pada umur 19 telah diberikan kuasa untuk memberi fatwa. Kehidupan penjara sebagaimana dialami para ulama-ulama dulu juga telah ia alami sejak muda. Saat Mesir dipegang Raja Faruk, dia masuk bui tahun 1949, saat umurnya masih 23 tahun, karena keterlibatannya dalam pergerakan Ikhwanul Muslimin. Pada April tahun 1956, ia ditangkap lagi saat terjadi Revolusi Juni di Mesir. Bulan Oktober kembali ia mendekam di penjara militer selama dua tahun. Qardhawi terkenal dengan khutbah-khutbahnya yang berani sehingga sempat dilarang sebagai khatib di sebuah masjid di daerah Zamalik. Alasannya, khutbah-khutbahnya dinilai menciptakan opini umum tentang ketidak adilan rejim saat itu. Usia 10 tahun, ia sudah hafal al-Qur’an. Kokohnya pondasi Qardhawi ketika masih muda melahirkan anak-anak yang luar biasa. Salah seorang putrinya memperoleh gelar doktor fisika dalam bidang nuklir dari Inggris. Putri keduanya memperoleh gelar doktor dalam bidang kimia juga dari Inggris, sedangkan yang ketiga masih menempuh S3. Adapun yang keempat telah menyelesaikan pendidikan S1-nya di Universitas Texas Amerika. Anak laki-laki yang pertama menempuh S3 dalam bidang teknik elektro di Amerika, yang kedua belajar di Universitas Darul Ulum Mesir. Sedangkan yang bungsu telah menyelesaikan kuliahnya pada fakultas teknik jurusan listrik. Dari sekian banyak para tokoh-tokoh Islam tersebut yang saya ceritakan beberapa orangnya merupakan orang-orang yang menjadikan masa mudanya dengan ukiran sejarah. Sumpah setia mereka akan syahadah luar biasa. Tak salah bila Nabi Saw berucap tentang Pemuda, “Ada tujuh golongan yang akan dinaungi oleh Allah pada hari yang tiada naungan kecuali naungan-Nya,” lalu beliau menyebutkan di antaranya, “Seorang pemuda yang tumbuh dalam penyembahan kepada Rabbnya.” Sudahkah kita bersumpah setia selaksana para pemuda Islam seperti mereka di atas? Ataukah kita masih menjadi pemuda yang hidup di bawah bayang-bayang ayah, ibu, orang tua, keluarga, dan romansa masa lalu? Saya teringat nasehat seorang kawan,
0 komentar:
Posting Komentar